Skip to main content

Kemelut Cinta Beda Kasta

Kemelut Cinta Beda Kasta
  Namaku Restu. Aku adalah seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di salah satu perguruan tinggi di Jogjakarta. Hari-hari di kampus kusibukkan dengan kegiatan organisasi mahasiswa. Tahun pertama aku bergabung menjadi anggota Expresi (jurnalistiknya mahasiswa-mahasiswi di kampusku). Masa diklat adalah masa yang paling asyik, disana aku berkenalan dengan teman-teman baru dari berbagai fakultas dan daerah. Mendapat materi yang baru aku pelajari di dunia perkuliahan.

“Baik teman-teman materi telah selesai, besok jadwal kita adalah membuat berita. Besok kita berkumpul di depan gedung Rektorat lama, kita berangkat ke pantai Parang Tritis untuk membuat berita.” Kata Riska, kakak tingkat yang menyampaikan materi diklat.

Pagi itu kusambut hariku dengan senyuman. Setelah aku terbangun untuk sholat subuh, lalu aku langsung bergegas menyiapkan baju, rekorder,dan alat tulis, untuk kubawa ke pantai nanti. Aku langsung bersiap-siap mandi, lalu memakai pakaian rapi dan wewangian.

“Restu….” Panggil Anjar teman diklatku. Namun dia berbeda jurusan denganku. Anak ini sangat hangat dan bersahabat. Sehingga aku pun cepat akrab walau baru dua minggu ini berkenalan.

“Iya, ayo berangkat.” Ajakku seraya tersenyum.

Dalam perjalanan menuju HalRek lama aku berbagi cerita dengannya. Kami saling menginspirasi, memotivasi, dari alasan-alasanku dan dia memilih Expresi sebagai ajang pengembangan diri bukanlah hal yang asal-asalan atau sekedar ikut-ikutan. Karena ini adalah kegiatan yang akan kami jadikan rutinitas ditengah-tengah banyaknya tugas kuliah. Tempat belajar yang diharapkan dapat menambah keilmuan, kecakapan dalam bersosialisasi dengan orang lain, rasa tanggung jawab dalam menyelesaikan pekerjaan. Aku yakin ini jauh lebih penting dari pada sekedar IPK yang unggul.

“Itu busnya sudah datang.” Kata Anjar seraya menunjuk ke arah bus berwarna kuning yang bergʌmbar iklʌn Antangin JRG.

“Kita langsung naik saja. Sepertinya teman-teman sudah memilih tempat duduk.” Balasku.

Semua peserta diklat telah menempati jok bus yang kosong. Aku dan teman-temanku siap menerima tantangan mewawancarai pengunjung pantai, lalu membuat berita dalam bentuk seperti koran. Tak lama kemudian, panitia diklat mengabsen kami. Dipanggilnya kami satu per satu. Setelah semua lengkap. Kami pun berangkat.

Sepanjang jalan, musik pop mengiringi kami. Rasa nyaman, senang, canda-tawa semakin mengakrabkan kami. Sesekali kami bernyanyi bersama jika ada lagu yang memang menjadi favorit kawula muda. Yah, maklum kami masih ABG-ABG yang sedang menikmati hura-hura. Namun di sini kami mencoba mengarahkan hasrat keingintahuan kami dalam wadah yang positif. Menjadi seorang wartawan kampus.

“Sudah sampai-sudah sampai, ayo kita turun.” kata Angger, salah satu teman diklatku.

Semua pun turun menuju mushola dekat pantai. Disana kami berkumpul untuk membentuk kelompok-kelompok kecil untuk dibagi tugas masing-masing. Kami terbagi menjadi empat kelompok yang masing-masing beranggotakan enam orang.

Aku berkelompok dengan Anjar, Angger, Kiki, Pipit, dan Fina. Setelah membuat daftar pertanyaan, aku berbagi tugas wawancara. Rekorder telah kusiapkan ditangan. Secepat mungkin aku hunting pengunjung Pantai untuk kuwawancarai. Disinilah aku belajar bagaimana percaya diri barhadapan dengan orang yang baru kukenal, tetapi juga aku tak boleh tinggi hati karena mempunyai banyak teman dan pengalaman. Kami bekerja sesuai pertanyaan yang telah disiapkan. Untuk pengembangan pertanyaan kami lakukan pada waktu berhadapan dengan narasumber.

Anjar… aku kesana yah.” Teriakku saat melihat seorang gadis sedang duduk menikmati deburan ombak dan semilirnya angin laut.

Anjar pun menoleh. Lalu mengangguk.

Wawancara pertama akan dimulai. Rasa canggung, krisis percaya diri tiba-tiba menyerangku. Aku segera menarik napas dalam-dalam, lalu kuhembuskan kembali seraya berkata, “Aku bisa.”

“Halo… aku Restu dari Persma dikampusku. Expresi. Aku calon anggota Expresi. Saat ini aku sedang mengikuti diklat jurnalistik yang merupakan rangkaian kegiatan dalam perekrutan setiap anggota Expresi. Boleh yah kita ngobrol sebentar…?” tanyaku seraya tersenyum, dengan pertanyaan yang sedikit mengarahkan lawan bicara supaya mau aku wawancarai.

“Boleh….” Jawabnya seraya tersenyum ramah.

Aku pun lega. “Sebelumnya, boleh tahu nama kakak?” lanjutku.

“Nama saya Ida Ayu Tantri.” Jawabnya.

“Aku biasa dipanggil Tantri.” Tukasnya seraya tersenyum.

Aku mengangguk. Lalu melanjutkan pertanyaanku. “Baik Tantri… sejak kapan Tantri berlibur di Pantai ini?”

“Aku sudah dua hari berada di Jogjakarta ini. Ayahku sedang mengisi acara kerohanian di Weda dekat Malioboro.” Jawabnya ramah.

Obrolan kami mengalir selayaknya teman lama yang telah lama tak bertemu. Hanya saja setiap kalimat yang ia lontarkan terekam dalam rekorderku. Tanpa sadar aku pun asyik dalam suasana percakapan bersama gadis itu. Tak hanya berita yang ku dapat. Aku pun bertukar nomor handphone dengannya. Rasa puas menyelimuti batinku. Aku pun berpamitan untuk melanjutkan tugas-tugasku kepadanya.

Rasanya senang bisa bercakap-cakap dengannya. Namun aku sedang dikejar deadline sehingga tak bisa berlama-lama. Aku kembali berkumpul dengan teman-temanku untuk menulis berita.
Kiki, aku, dan empat temanku telah berkumpul kembali. Kami menulis sesuai topik yang kami angkat dan informasi yang telah kami dapat. Obrolanku dengan Tantri aku putar kembali. Lalu kutulis menjadi sebuah berita.

“Teman-teman sudah selesai menulisnya?” Teriak Kiki. Dia akan segera menempel untuk dijadikan Koran.

“Sudah, Ki.” Teriak Anjar.

“Yang sudah segera dikumpul yah. Nanti aku tempel.” Kata Kiki.

Kiki memang pintar menata. Dia rapi jika urusan tempel menempel, sehingga kami percayakan urusan itu kepadanya.

Semua telah selesai dan dibentuk Koran. Siap untuk dikumpul kepada penanggungjawab acara, Kak Riska Purnama Sari.

“Teman-teman, waktu kita tinggal 15 menit”, teriak Riska.

“Ki, ayo dikumpulkan sekarang aja.” Kataku.

Kiki menyerahkan hasil tulisan kami kepada Riska. Disusul oleh kelompok-kelompok lain. Kami merasakan beban di dada telah lepas. Sekarang saatnya menikmati kebersamaan di tengah teriknya raja siang dimix dengan deburan ombak dan angin sepoi-sepoi.

Butiran-butiran pasir terasa sedikit menyengat saat terinjak kaki. Tetapi nampaknya itu tak menyurutkan keinginan kami untuk bermain bersama gulungan ombak. Canda tawa mengiringi kebersamaan kami. Rasa persaudaraan pun mulai terpupuk. Sesekali Pipit mengezoom kamera dalam handphonenya untuk mengabadikan momen yang indah ini. Apalagi jika ada tempat dan gaya yang unik. Kami segera berp0se.

Kami berjalan menuju musola yang terdiam di tepi pantai. Disana telah berkumpul para panitia dan peserta diklat untuk memulai acara selanjutnya, yaitu sambutan dari pemimpin redaksi, lalu dilanjutkan dengan pengumuman kelompok terbaik, lalu makan siang, dan persiapan pulang.

******

Ditengah kesibukanku mengikuti serangkaian acara diklat, aku menyempatkan waktu untuk menghubungi narasumber istimewaku tadi pagi. Gadis Bali yang aku kenal tak seperti gadis-gadis lain. Mungkin kasta dari keluarganya yang membuatnya nampak anggun, sopan, baik, dan menurutku dia gadis yang menarik.

Tanpa kusadari benang-benang halus mulai terasa menggetarkan hatiku. Cinta. Kau datang tanpa permisi. Kau menghampiriku saat ku menginginkan hadirmu menemaniku melewati kesepian yang selalu menghimpit. Selama ini tak pernah kumiliki kesempatan untuk berkenalan dan bercakap-cakap dengan anak perempuan. Sejak kecil hingga SMA aku hidup di pondok pesantren. Ayahku orang yang sangat kental agamanya. Beliau menginginkan aku menjadi anak soleh yang mampu menjadi panutan keluarga dan masyarakat. Artinya aku harus benar dan baik sesuai norma agama dan masyarakat yang berlaku.

Panasnya pasir di pantai itu menjadi saksi bisu keakrabanku dengannya. Dia datang menjadi inspirasi semua tulisanku di Koran yang baru saja kami kumpulkan. Tak pernah terbersit dalam benakku aku akan sedalam itu menyayanginya. Rasa sayang tanpa syarat. Aku tak mengerti mengapa aku begitu menyayangi dan mencintainya. Rasa itu tumbuh perlahan tapi pasti.

Sebulan setelah pertemuan kami di pantai itu, kami pun meresmikan hubungan kami.

Kemelut Cinta Beda Kasta

*****

Hubungan cinta berbeda kasta bukanlah hal yang sederhana. Meski aku dan dia saling menyayangi. Namun ada hal-hal yang membuatku khawatir. Jarak yang jauh yang mampu mengikis kasih sayang, dan kekhawatiran akan retaknya hubungan karena kedua orang tuaku dan orang tuanya yang sama-sama kuat.

Setahun berlalu aku melewati hari-hariku dengannya. Meski hubungan jarak jauh. Namun kami saling percaya. Hari itu aku tak ada kuliah, kurebahkan badanku di tempat tidur. Sembari membaca pesan di handpone. Tiba-tiba panggilan masuk di handphoneku tertulis nama Tantri. Gadis Bali dari kasta Brahmana yang telah membuatku terpeleset hingga ku terjatuh. Kelembut hatinya mampu meluluhkan hatiku. segera aku angkat. “Halo….”

“Restu… aku berada di Jogja sekarang,” suara gadis itu terdengar dari telepon genggamku.

Aku pun tersenyum mendengarnya. “Iya sayang, kamu datang dengan siapa?”

“Aku datang sendiri, aku ingin bertemu denganmu.” Jawabnya.

“Aku tunggu kamu di Plaza Ambarukmo.” Katanya lagi.

“Ya…, tunggu ya, sayang….” Aku menutup teleponku.

Pertemuan ini memang sudah menjadi kebiasaanku dengannya setiap bulan. Jika bukan aku yang ke Bali, dia yang datang ke Jogja. Aku pun segera bersiap-siap menemuinya. Kukendarai sepeda motorku sedikit kencang. Aku tak mau membiarkan gadis itu lama menungguku.

“Ah… sampai juga.” Bisikku dalam hati.

Kuparkir motorku di samping Plaza. Sebelum berdiri, aku melihat kaca spionku untuk meyakinkan, aku sudah rapi dan fresh.

Kuambil telepon genggamku lalu kupilih daftar panggilan dengan nama Tantri.

Tuuut tuuuuut… “halo….” Dia pun segara mengangkat teleponku.

“Dimana, sayang?” Tanyaku

“Aku di solaria.” Jawabnya.

Aku menutup telepon dan langsung menuju Solaria.
Kulihat dia sudah duduk menungguku. Senyumnya menyungging di bibirnya saat melihat kedatanganku.

“Sayang, maaf yah, lama menungguku.” Kulihat matanya berbinar menyambutku. Senyumnya mengembang.

Aku pun balas mengembangkan senyumku.
Larut kami dalam percakapan. Saling melempar canda dan tawa. Lalu dia terdiam dan menatapku serius.

“Sayang,” panggilnya.

Aku pun balas menatapnya.

“Sudah setahun kita saling mengenal. Aku mau kau menikahiku. Karena aku dengar aku mau dijodohkan oleh orang tuaku.” Katanya.

Aku mengerti perasaannya. Jarak, waktu, dan tradisi, membuat kami berada dalam posisi yang sedikit rumit. Perbedaan kasta, seperti halnya tradisi masyarakat Bali, orang yang berasal dari kasta Brahmana, apabila dia menikah dengan orang selain kasta Brahmana, maka akan dibuang. Dicoret dari silsilah keluarganya.

Lalu bagaimana dengan keluargaku, aku mencintai gadis Bali yang beragama hindu ini. Rasa kekhawatiran yang sempat terlintas dalam pikiranku kini benar-benar terjadi. Namun sebagai lelaki aku harus memperjuangkan cinta yang telah lama bersemi.

“Baiklah.” Aku mengangguk setuju. Aku memang baru semester tiga. Namun aku sudah mau menikah.

“Tapi saat ini aku belum ada uang cukup untuk pernikahan kita, sayang. Beri aku waktu untuk mempersiapkan semuanya selama enam bulan. Aku akan mencari uang yang cukup.” Jelasku.

“Besok hari sabtu aku antar kamu pulang. Lalu aku akan meminta ijin kepada kedua orang tuamu.” Ucapku.

Dia pun tersenyum. Kami berdua saling menatap, lalu seyumku mengembang seolah itu adalah hari yang paling bahagia untukku dan dia.

Setelah aku mengantarnya ke peninapan, aku pun kembali ke tempat kos. Lalu kupersiapkan segala teknik, dan pembicaraan yang akan kusampaikan kepada kelurganya nanti.

Pagi itu hari jumat, aku kembali menemui kekasihku, sebelum aku menemui keluarganya.

“Sayang, aku jemput kamu ke penginapan yah. Kita jalan mencari tempat yang enak untuk kita ngobrol soal kita.” Ajakku

“Oke, sayang. Sampai ketemu yaa.” Jawabnya manis sekali.

Aku datang ke penginapannya, dia telah menungguku di depan kamarnya. Begitu kubunyikan klakson motorku, dia tersenyum dan berjalan mendekatiku.

“Kita mau kemana?” Tanyanya

Aku tersenyum. “Kita ke tempat yang enak, aku yakin kamu suka. Disana ada aneka menu susu segar dengan berbagai rasa, pisang bakar, dan roti bakar. Kita bisa makan dan minum sembari duduk lesehan menikmati malamnya Jogja.”

“Apa nama tempatnya?” Tanyanya penasaran.

“Susu Segar Mbok Darmi.” Jawabku.

“Oh…. Itu milik orang sudah tua?” Jawabnya.

“Bukan sayang, itu usaha anak-anak kampus. Kampus mereka berbeda-beda. Ada yang dari UGM, UII, UNY, UNES, dan kampus-kampus lain di Jogja, Solo dan Semarang.” Jawabku menjelaskan.

“Hebat yah….” Pujinya.

Aku pun mengangguk seraya tersenyum.
Tak terasa kita sudah sampai di dekat MM UGM, tepatnya di sebelah Mesjid An-Nur, daerah Pogung. Kuparkir motorku. Lalu kami memesan menu, dan duduk di tenda-tenda yang telah tersedia untuk tempat duduk para pelanggan.

Hanya menunggu lima menit, pesanan telah tersaji.

“Silakan….” Waiter menyajikan hidangan dengan ramah. Hal yang sangat jarang dia temui di restoran di bali.

“Terima kasih.” Sahut Tantri seraya tersenyum senang.

“Sayang, besok jadwal penerbangan pesawat pukul 07.25 sampai di Denpasar pukul 09.45.” Ucapku.
Tantri tersenyum. Lalu mengangguk.

“Besok aku jemput kamu pukul 06.00 yah.” Kataku.

“Siaaap, sayangku….” Jawabnya semangat.

“Lalu, bagaimana dengan orang tuamu? Apakah mereka mau menerimaku?” Tanyanya pesimis.
Sesaat suasana sedikit khawatir. Aku pun mencoba menenangkannya. “Apapun yang menghalangi kita nanti, kita harus bisa melewati. Keputusan sudah kita ambil. Kita segera menikah.” Jawabku.
Jam telah menunjukan pukul 20.00. kami telah menghabiskan semua pesanan.

“Yuk, kita pulang. Kita siapkan energi untuk besok pagi.” Ajakku.

“Ayo.” Jawabnya.

“Berapa mas?” Tanyaku

“Tadi apa saja Mas?” Tanya waiter.

“Susu dua, roti bakar cokelat keju satu.” Jawabku

“Rp 30.000,00, Mas.” Kata waiter itu.

Kami berdua pulang. Aku mengantar Tantri ke penginapan. Aku langsung kembali ke tempat kos.


Pagi itu udara di Jogja terasa sejuk. Pukul 06.00 aku memanaskan motor dan menjemput Tantri. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku telah sampai di depan penginapannya. Seperti biasa, dia telah menungguku di teras depan rumah penginapannya. Duduk, dengan wajah yang semangat meski sedikit masih terlihat ngantuk.

“Tan….” Panggilku.

Dia menoleh lalu berjalan dengan cepat mendekatiku.

“Sudah sarapan belum?” Tanyanya.

“Aku lapar.” Lanjutnya.

“Iya, aku juga belum sarapan. Nanti kita cari nasi gudeg di dekat sini ya.” Jawabku.

Kami berjalan perlahan-lahan sembari mencari penjual nasi di pinggir-pinggir jalan, sebelum arah jalan Solo.

“Lihat, ada penjual nasi gudeg.” Tantri menunjuk ke arah depan ruko Colombia.

Kami berhenti lima menit untuk membeli sarapan. Lalu melanjutkan perjalanan dengan sedikit cepat.

Tepat pukul 06.30 kami sampai di Bandara Adi Sucipto. Kami masih menyempatkan diri untuk sarapan lalu sepuluh menit kemudian memasuki pesawat.

Pukul 07.00 pesawat mengudara. Rasa dag dig dug menyelimuti hatiku. aku akan menghadapi keluarga yang menentang keputusanku.

Pukul 09.40 pesawat mendarat. Alhamdulilah. Kami sampai dengan selamat.

Kami langsung menuju ke rumah Tantri. Suasana asri, kental dengan tradisi terasa dalam keluarganya. Sampai di rumahnya aku dikenalkan dengan Ibu dan Ayahnya. Aku hanya orang biasa yang bermodal cinta untuk meminta ijin menikahi putri bungsu mereka. setelah aku melewati fase ini aku akan mengislamkan dia. Aku tahu ini tidak mudah. Pikirku.

Aku pun duduk di kursi ruang tamu.

Tantri memanggil Ayah dan Ibunya. Suasana keramahan terpancar dalam keluarga itu. lalu berubah seketika saat dia memperkenalkan bahwa aku adalah kekasihnya. Sorot mata ramahnya berubah menjadi sinis.

“Apa maksud kedatanganmu kemari?” Tanyanya sedikit tinggi.

“saya ingin bersilaturahmi, lalu saya mau meminta ijin kepada Bapak dan Ibu untuk mengijinkan saya menikah dengan putri Bapak.” Jawabku.

“Tidak. Aku sudah mempersiapkan calon untuk putriku. Tantri. Kamu kan tahu jika kamu menikah dengan pemuda di luar kasta kita, kamu akan tercoret dari daftar silsilah keluarga.” Jawab Ayahnya nada marah.

“Ayah, aku mencintainya.” Jeritnya. Namun ayahnya tak mempedulikannya.

“Masuk Tantri. Ibu bawa anak ini masuk.” Bentak ayahnya.

“Tidak. Aku tidak akan menikah dengan orang pilihan ayah.” Tantri menentang ayahnya.
Ayahnya yang geram memelototi Ibunya.

“Restu….” Teriak Tantri saat ibunya menariknya masuk ke dalam. Wajahnya terlihat sedih dan putus asa.

“Sekarang juga kamu boleh meninggalkan rumah ini.” Kata Ayahnya geram.

Aku meninggalkan rumah besar itu dengan perasaan kalut. Mungkin aku harus mencari cara lain untuk bisa meluluhkan hati orang tuanya. Tapi dia sudah dijodohkan dengan orang lain. Aku pun kembali ke Jogja.

Sayang, sore ini aku berangkat ke Jogja. Besok aku ada ujian akhir.

Sms itu aku kirim ke handphone Tantri.

Tantri menitikkan air mata. Dia tahu sifat ayahnya, jika sudah A, ya A. Tak ada satupun yang bisa mengubahnya. Pendiriannya masih sangat kuat dan kolot.

Aku pun kembali ke kampus. untuk ujian akhir. Selesai ujian akhir, aku pulang. Aku ceritakan niatku kepada ibuku. Ibuku orang yang paling mengerti aku. Saat ku pulang, ibu adalah orang yang pertama menyambut dan menatapku dengan bahagia.

“Nak, makanlah. Ibu masak makanan kesukaanmu. Kebetulan selera makan ayah dan aku sama. Semur jengkol.” Kata ibu seraya mengajakku duduk di kursi meja makan.

“Baiklah Bu. Ayo Ibu juga makan. Temani aku makan bu. Aku sudah lama tidak disuapi ibu.” kataku memanja. Sengaja aku tutupi masalahku. Aku tak ingin melihat ibuku sedih saat ku pulang. Aku akan mencari waktu yang tepat untuk bercerita.

Ibu tersenyum senang melihatku makan dengan lahap.

“Nambah lagi, nak.” Ibu mengambilkan nasi dan semur jengkol sekali lagi.

Selesai makan, aku duduk di dekat jendela. Ku pandangi pepohonan di sekitar rumahku. Dengan langkah perlahan wanita paruh baya itu mendekatiku.

“Kamu mikirin apa, nak? Ada masalah?” Tanyanya seraya menatapku dengan lembut.
Aku duduk di kursi ruang tengah.

“Bu, aku telah menemukan calon pᥱndamping hidupku. Dia bernama Tantri, tetapi berbeda agama dengan kita. Dia tak seperti gadis-gadis lain. Agamanya hindu. Dia gadis asal Bali.” Kataku

Ibu masih menatapku terperangah. “Terus?”

“Aku kemarin dari rumahnya, untuk meminta ijin kepada orang tuanya untuk menikah dengannya. Namun kami ditentang. Gadis itu telah dijodohkan dengan pria pilihan ayahnya. Dia dari kasta brahmana. Kalau dia tetap memilihku dia akan dicoret dari silsilah keluarganya.” Aku menceritakannya kepada Ibu.

“Perbedaan kasta itu berat, anakku. Kau juga belum bertemu dengan ayahmu. Kalau itu sudah pilihan kamu, kamu yakin dia gadis yang baik untuk anak-anakmu kelak. Menikahlah. Jemput dia. Nanti untuk bicara kepada ayahmu biar Ibu bantu.” Kata Ibu menenangkanku.

Sayang, minggu depan acara pernikahanku dengan pria pilihan ayah akan dilaksanakan. Kalau kamu masih sayang aku. Tolong kamu datang sebelum upacara dimulai.

Sms itu masuk di handphoneku. Aku semakin merasa panik. “Aku belum bertemu ayahku.” Gumamku

“Ibu, ayah dimana?” Tanyaku.

“Ayah tadi ada pengajian bersama anak-anak panti asuhan. Mungkin sebentar lagi pulang. Sudah sejak pagi ayah sibuk di panti.” Kata ibu.

Aku pun duduk menunggu ayah datang.

“Itu ayahmu pulang.” Kata ibu.

Ayah tersenyum melihatku. Aku raih tangan ayah lalu ku cium tangannya.

“Kamu sudah selesai ujian, nak?” Tanya ayah.

“Sudah, ayah.” Jawabku.

Ayah duduk di kursi santai di halaman dalam depan kolam ikan. Aku dan Ibuku menyusul duduk dalam satu meja.

“Ayah, boleh saya meminta ijin?” Aku memulai pembicaraanku.

“Ijin untuk apa, Restu?” Jawab ayah.

“Aku ingin menikah yah.” Jawabku.

“Lho bukannya kuliahmu baru smester tiga? Kamu sudah mempunyai calon?” tanya Ayah.

“Sudah, ayah. Seorang gadis Bali, dari kasta brahmana, dia gadis yang baik ayah. Saya sudah siap menikah, ayah.” Jawabku.

“Tidak anakku. Kau harus menikah dengan wanita yang seaqidah denganmu. Memang di Jogja tidak ada gadis yang menarik hatimu, sehingga kamu harus memilih gadis Bali dengan berbeda kasta itu?” tentang ayah.

“Tidak ayah. Setelah dia aku bawa kesini, aku akan mengislamkan dia. Lalu mengajarinya beralquran.” Jawabku mantap.

“Memang menikah dengan beda keyakinan itu apa salahnya, ayah? Jika Tuhan menunjuki dan memercayai ku untuk meluruskan dia. Aku diberi aqidah dan pemahaman yang bagus dalam beribadah. Dan dia mau dan mampu menerima dan memahami aturan dalam agama kita. Mengapa tidak?” Jawabku menentang.

“Jika kau tetap menikah dengan gadis itu silakan tinggalkan rumah ini.” Bentak ayahku.
Aku meninggalkan ayah dan ibuku lalu masuk kamar. Ku ambil koperku lalu kuambil baju-bajuku untuk ku bawa ke kos.

“Ayah, mungkin ada baiknya niat Restu untuk mengajarkan dia beralquran. Wanita itu kan tergantung bagaimana suaminya. Jika suaminya mengajari untuk beralquran, pasti dia bisa menjadi wanita solehah. Mungkin Alloh memberi petunjuk kepada gadis itu melalui anak kita.” Kata Ibu mencoba meluluhkan hati ayahnya.

“Tidak, Bu. Ayah tidak setuju.” Jawab ayah tetap pada pendiriannya.

Perasaanku kesal, marah bercampur jadi satu. Aku mencoba menenangkan diri di kamar. “Aku akan tetap menjemput Tantri. Lusa aku akan berangkat lagi ke Bali.” Gumamku.

Aku keluar dan berpamitan kepada Ibu dan ayahku. Ayahku mengacuhkanku. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Aku lihat Ibu menangis.

“Nak, jangan tinggalkan Ibu.” Ibu mengikutiku dari belakang. Mengntarku sampai ke depan rumah. Aku pun tak terbedung lagi. Air mataku menetes.

“Ibu, aku akan menjemput calon istriku. Saat ku menikah nanti, aku akan menelpon Ibu.” kataku mencoba menenangkan Ibu. Lalu kuberpamitan berangkat ke Bali.

Perjalanan ke Jogja diiringi dengan isak tangis bercampur kekesalanku kepada ayahku. Batinku terus berseteru dengan berbagai pendapat dan pertanyaan. Aku yang tak sepaham dengan pemikirannya. Mungkin aku telah buta oleh cintanya. Sehingga emosiku tak terkontrol? Dalam mencintai, aku mencoba memadukan antara emosional love, rasional love, dan spiritual love. Aku ingin mengislamkan orang yang aku sayangi supaya kami menjadi satu aqidah lalu kami bisa berjalan di jalanNya bersama-sama. Apa itu salah? Lalu aku harus bagaimana untuk menyatukan hatiku dengan hatinya?

*****

sayang, aku terbang ke Bali

sms itu akirim sebelum keberangkatanku menuju Denpasar.

Oke. Aku tunggu

Dia cepat membalas pesanku

Di Bali aku tinggal di penginapan. Tantri datang di penginapanku sebelum akadnya. Tanpa ayahnya tahu. Diam-diam kekasihnya mengikutinya dari kejauhan.

Hari-hari menjelang pernikahannya, Tantri lebih sering menghabiskan waktu bersamaku di penginapan. Tanpa ia tahu, calon suaminya mengikuti dari kejauhan.

“Tantri, apa yang kau lakukan di sini? Kau bilang tadi pergi ke rumah eyangmu.” Bisik calon suami pilihan ayahnya. Dia kecewa karena merasa didustai.

Lelaki itu menghampiriku, setengah jam setelah tantri meninggalkan penginapanku.“Kau mengenal gadis itu?” Tanyanya dengan tenang.

“Iya, aku kekasihnya. Tetapi dia dijodohkan dengan laki-laki pilihan orangtuanya.” Jawabku tanpa ku tahu, jika lelaki itu adalah calon suami kekasihku.

Laki-laki itu mengangguk lalu berpamitan meniggalkanku.

“Aku calon suamimu, Tantri. Mengapa kau tega membohongiku. Kau bilang mengantar pesanan eyangmu. Ternyata kau sedang bermesraan dengan laki-laki itu.” Dia menggeleng-gelengkan kepala dari dalam mobil. Lalu memukul-mukulnya setir mobilnya dengan kesal.

Tepat di hari akad nikahnya, aku datang sebelum upacara dimulai.

Dua mempᥱlai dan semua keluarganya telah berkumpul. Lalu, pendeta mau memulai acara pernikahan itu. Lelaki itu mengatakan, “Aku tak bisa melanjutkan pernikahan ini.” Lelaki itu menyerahkan gadis itu kepadaku.

Semua tamu undangan terperangah menatap kami bertiga. Pernikahan itu batal. Ayah Tantri murka. Tantri dibuang dari keluarganya. Karena memilih menikah denganku.

Aku dan Tantri kembali ke Jogja. Setelah enam bulan kami mempersiapkan semuanya. Dia menjadi mualaf. Lalu kuajarkan baca tulis alquran, kuceritakan sejarah-sejarah islam. Hingga dia paham. Kami pun menikah.

Cerpen: Sutantri Sutantri